REPUBLIKA.CO.ID,
Melagukan bacaan Alquran harus sesuai kaidah.
Keindahan Alquran tak hanya terbatas pada susunan huruf, kalimat, atau makna yang terkandung di baliknya. Tetapi, Alquran juga indah kala dibaca.
Kedahsyatan pengaruh yang terdapat dalam bacaan Alquran konon dapat meluluhkan hati Umar bin Khatab yang lantas memeluk Islam. Karena, ayat-ayat Alquran tersebut bila dilantunkan niscaya akan menggetarkan hati bagi mereka yang beriman.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS al-Anfaal [8]:2).
Namun, menurut Dr Basyar Awad Ma'ruf dalam bukunya yang berjudul al-Bayan fi Hukm at-Taghanni bi Alquran, para ulama tidak bersepakat menyikapi pembacaan Alquran dengan berbagai ragam nada dan lagu, seperti seni tilawah atau tartil Alquran yang banyak populer sepanjang sejarah.
Pendapat yang pertama mengatakan, hukum membaca Alquran dengan varian lagu tersebut ialah makruh. Pendapat ini disampaikan Imam Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Said bin al-Musayyib, Said bin Jabir, al-Qasim bin Muhammad, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim an-Nakha'i, dan lainnya. Opsi ini juga menjadi rujukan sejumlah ulama masa kini, seperti Syekh Muhammad Abu Zahrah.
Argumentasi yang dikemukakan kubu pertama ialah sejumlah hadis. Dalil yang pertama ialah hadis dari Hudzaifah bin al-Yaman. Rasulullah SAW memperingatkan di sabdanya tersebut agar hendaknya tidak membaca Alquran dengan nada (lahn), seperti ahlul kitab dan orang fasik.
Akan datang suata masa para kaum yang mengulang-ulang bacaan Alquran disertai lagu dan variasi-variasi baru. Riwayat ini dinukilkan oleh at-Tirmidzi di Nawadir al-Ushul, Thabrani di al-Ausath, Abu Ya'la di al-Jami'.
Dalil yang kedua ialah riwayat Abis bin Abas al-Ghifari yang dinukilkan oleh Ahmad dan Thabrani. Di riwayat tersebut, Rasul menyebutkan salah satu tanda akan datangnya hari akhir, yaitu munculnya kalangan yang tidak berkompeten dengan Alquran, hanya pandai melagukannya.
Selain kedua hadis tadi, dalil pelarangan juga merujuk pada tidak bolehnya mengumandangkan azan dengan lagu, seperti yang ditegaskan di riwayat Ibnu Abas yang dinukilkan Imam ad-Daruquthni.
Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan komentar yang cukup proporsinonal. Menurut penulis Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari itu, memperindah bacaan Alquran sangat dianjurkan, jika tidak mampu maka berusahalah semampunya.
Akan tetapi, hendaknya tetap memperhatikan aturan-aturan baca dan kaidah tajwid ataupun tahsin Alquran agar menghindari kesalahan-kesalahan yang justru bisa merusak bacaan Alquran itu sendiri.
Alasan inilah yang tampaknya mendasari pula Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta') melarang pelantunan Alquran dengan lagu-lagu bila ternyata bacaan tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Alquran.
Para ulama sepakat jika pembacaan lagu itu melanggar kaidah ilmu tajwid, qiraat, dan tahsin, maka tidak diperbolehkan.
Misal, seperti bacaan al-Haitsham yang membaca kata limasakina dalam ayat ammas safinatu fakaanat limasakina dengan bacaan limiskin. Ini dianggap sebagai fenomena baru yang keliru dalam pelantunan lagu Alquran.
Termasuk, tidak mengindahkan etika, seperti menyertai bacaan tersebut dengan lantunan alat musik, seperti fenomena yang banyak bermunculan di abad kedua dan ketiga Hijiriyah.
Sedangkan, pandangan yang kedua menyatakan, membaca Alquran dengan tilawah atau tartil berikut macam-macam lagunya diperbolehkan.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafi'i, Abdullah bin al-Mubarak, at-Thabari, Ibn Bathal, Abu Bakar Ibn al-Arabi, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Deretan nama dari sahabat juga berpandangan yang sama, antara lain, Umar bin Khatab, Ibnu Abas, Abdullah bin Mas'ud, dan lainnya.
Syekh Rasyid Ridha, Syekh Labib as-Sa'd, dan Dr Abd al-Mun'im al-Bahi, termasuk pendukung diperbolehkannya pembacaan Alquran dengan cara dilagukan dari kalangan ulama kontemporer.
Dasar yang dijadikan rujukan kelompok kedua ini, di antaranya, hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Nasai dari Abu Hurairah RA.
Hadis itu menegaskan, Allah SWT belum pernah mengizinkan perkara, seperti izin yang diberikan kepada Nabi SAW untuk melantunkan bacaan Alquran dengan lagu.
Selain itu, hadis riwayat Abdullah bin Mughaffal yang dinukilkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, juga diambil sebagai landasan.
Dalam hadis itu, Rasul dikisahkan membaca surah al-Fath secara pelan lalu mengulanginya di atas untanya yang tengah berjalan.
Di riwayat lain dikisahkan, Rasulullah memuji bacaan Abu Musa al-Asyari dan mengapresiasi sahabatnya tersebut, telah dianugerahi satu dari sekian pita suara keluarga Nabi Dawud AS.
Di kalangan sahabat, Abu Musa al-Asya'ari memang tersohor dengan suara dan lantunan Alquran yang bagus. Umar bin Khatab bahkan sering memintanya agar memperdengkarkan bacaan merdu tersebut.
“Ingatkan kita akan Allah SWT (dengan bacaanmu),” kata Umar. Selain Abu Musa al-Asy'ari, ada pula sahabat yang dikarunia bakat dan potensi berharga itu, yakni Salim budak Abu Hudzaifah.
Ustaz Nashih Nashrullah
Keindahan Alquran tak hanya terbatas pada susunan huruf, kalimat, atau makna yang terkandung di baliknya. Tetapi, Alquran juga indah kala dibaca.
Kedahsyatan pengaruh yang terdapat dalam bacaan Alquran konon dapat meluluhkan hati Umar bin Khatab yang lantas memeluk Islam. Karena, ayat-ayat Alquran tersebut bila dilantunkan niscaya akan menggetarkan hati bagi mereka yang beriman.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS al-Anfaal [8]:2).
Namun, menurut Dr Basyar Awad Ma'ruf dalam bukunya yang berjudul al-Bayan fi Hukm at-Taghanni bi Alquran, para ulama tidak bersepakat menyikapi pembacaan Alquran dengan berbagai ragam nada dan lagu, seperti seni tilawah atau tartil Alquran yang banyak populer sepanjang sejarah.
Pendapat yang pertama mengatakan, hukum membaca Alquran dengan varian lagu tersebut ialah makruh. Pendapat ini disampaikan Imam Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Said bin al-Musayyib, Said bin Jabir, al-Qasim bin Muhammad, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim an-Nakha'i, dan lainnya. Opsi ini juga menjadi rujukan sejumlah ulama masa kini, seperti Syekh Muhammad Abu Zahrah.
Argumentasi yang dikemukakan kubu pertama ialah sejumlah hadis. Dalil yang pertama ialah hadis dari Hudzaifah bin al-Yaman. Rasulullah SAW memperingatkan di sabdanya tersebut agar hendaknya tidak membaca Alquran dengan nada (lahn), seperti ahlul kitab dan orang fasik.
Akan datang suata masa para kaum yang mengulang-ulang bacaan Alquran disertai lagu dan variasi-variasi baru. Riwayat ini dinukilkan oleh at-Tirmidzi di Nawadir al-Ushul, Thabrani di al-Ausath, Abu Ya'la di al-Jami'.
Dalil yang kedua ialah riwayat Abis bin Abas al-Ghifari yang dinukilkan oleh Ahmad dan Thabrani. Di riwayat tersebut, Rasul menyebutkan salah satu tanda akan datangnya hari akhir, yaitu munculnya kalangan yang tidak berkompeten dengan Alquran, hanya pandai melagukannya.
Selain kedua hadis tadi, dalil pelarangan juga merujuk pada tidak bolehnya mengumandangkan azan dengan lagu, seperti yang ditegaskan di riwayat Ibnu Abas yang dinukilkan Imam ad-Daruquthni.
Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan komentar yang cukup proporsinonal. Menurut penulis Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari itu, memperindah bacaan Alquran sangat dianjurkan, jika tidak mampu maka berusahalah semampunya.
Akan tetapi, hendaknya tetap memperhatikan aturan-aturan baca dan kaidah tajwid ataupun tahsin Alquran agar menghindari kesalahan-kesalahan yang justru bisa merusak bacaan Alquran itu sendiri.
Alasan inilah yang tampaknya mendasari pula Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta') melarang pelantunan Alquran dengan lagu-lagu bila ternyata bacaan tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Alquran.
Para ulama sepakat jika pembacaan lagu itu melanggar kaidah ilmu tajwid, qiraat, dan tahsin, maka tidak diperbolehkan.
Misal, seperti bacaan al-Haitsham yang membaca kata limasakina dalam ayat ammas safinatu fakaanat limasakina dengan bacaan limiskin. Ini dianggap sebagai fenomena baru yang keliru dalam pelantunan lagu Alquran.
Termasuk, tidak mengindahkan etika, seperti menyertai bacaan tersebut dengan lantunan alat musik, seperti fenomena yang banyak bermunculan di abad kedua dan ketiga Hijiriyah.
Sedangkan, pandangan yang kedua menyatakan, membaca Alquran dengan tilawah atau tartil berikut macam-macam lagunya diperbolehkan.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafi'i, Abdullah bin al-Mubarak, at-Thabari, Ibn Bathal, Abu Bakar Ibn al-Arabi, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Deretan nama dari sahabat juga berpandangan yang sama, antara lain, Umar bin Khatab, Ibnu Abas, Abdullah bin Mas'ud, dan lainnya.
Syekh Rasyid Ridha, Syekh Labib as-Sa'd, dan Dr Abd al-Mun'im al-Bahi, termasuk pendukung diperbolehkannya pembacaan Alquran dengan cara dilagukan dari kalangan ulama kontemporer.
Dasar yang dijadikan rujukan kelompok kedua ini, di antaranya, hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Nasai dari Abu Hurairah RA.
Hadis itu menegaskan, Allah SWT belum pernah mengizinkan perkara, seperti izin yang diberikan kepada Nabi SAW untuk melantunkan bacaan Alquran dengan lagu.
Selain itu, hadis riwayat Abdullah bin Mughaffal yang dinukilkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, juga diambil sebagai landasan.
Dalam hadis itu, Rasul dikisahkan membaca surah al-Fath secara pelan lalu mengulanginya di atas untanya yang tengah berjalan.
Di riwayat lain dikisahkan, Rasulullah memuji bacaan Abu Musa al-Asyari dan mengapresiasi sahabatnya tersebut, telah dianugerahi satu dari sekian pita suara keluarga Nabi Dawud AS.
Di kalangan sahabat, Abu Musa al-Asya'ari memang tersohor dengan suara dan lantunan Alquran yang bagus. Umar bin Khatab bahkan sering memintanya agar memperdengkarkan bacaan merdu tersebut.
“Ingatkan kita akan Allah SWT (dengan bacaanmu),” kata Umar. Selain Abu Musa al-Asy'ari, ada pula sahabat yang dikarunia bakat dan potensi berharga itu, yakni Salim budak Abu Hudzaifah.
Ustaz Nashih Nashrullah
No comments:
Post a Comment